Senin, 26 September 2016

Rindu Dan Secangkir Kopi


Karya: Afif Hanif

Aku duduk sendiri ketika malam tiba dengan sunyi yang mengikutinya
Secangkir kopi diam di atas meja kamarku yang menghadap jendela
Dari sini terlihat suasana malam begitu sayup
Lampu-lampu kota yang sedari tadi terang perlahan ulai redup
“Rindu” kata yang tertulis di lembar kertas bukuku.
Tak berhias apa-apa, hanya kebingungan yang mendekap otakku harus menulis apa setelahnya.
Pena di tanganku masih menggantung
Mataku betah menatap bintang yang tak mampu kuhitung
Satu, dua, tiga... ah entahlah
Bosan menghitung sesuatu yang terlalu banyak
Lebih baik aku menikmatinya saja dengan kenangan yang hinggap.
Ah malah kenangan...
Otakku menggerutu, kenapa harus muncul kata itu-itu lagi
Kucoba beralih dengan meneguk sedikit kopiku, barangkali akan ada kata lain yang lebih enak diingat
Iya, rindu!
Aku teringat tulisanku
Kutatap dengan penuh hayat, namun apa daya kebingungan masih saja mendekap
Apakah rindu hanya untuk dirasakan, bukan untuk diperbincangkan?
Entahlah
Diam secangkir kopi dan “rindu” yang tertulis di lembar kertasku

20 Desember 2015
 

Selasa, 31 Mei 2016

Dua Cahaya Di Ujung Senja



“Apakah kau melihatnya?”
Tangannya menunjuk ke arah langit yang diselimuti warna jingga yang bagiku sama seperti warna matanya.
“Iya aku melihatnya.”
“Kenapa langit itu bisa berubah-ubah warna? Tadi biru, sekarang jingga, dan nanti hitam. Bisa juga kelabu seperti saat mendung, dan bahkan ada banyak warna di sana ketika pelangi tiba.”
Aku diam.
***
“Wahai Jibril, indahkah ciptaan-Ku menurutmu?”
“Ciptaan mana yang tak indah dari-Mu wahai Tuhanku? Segala ciptaan-Mu teramat begitu indah.”
“Tapi Aku merasa ada yang kurang.”
“Apa itu wahai Tuhanku?”
“Bagaimana nanti manusia akan melihat dengan jelas jika dunia yang Kubuat ini selalu gelap?”
“Kalau begitu tambahkan saja warna apapun yang Engkau suka wahai Tuhanku.”
“Baiklah, kalau begitu akan Kubuat warna hitam ini menjadi malam, biru sebagai siang, jingga ketika petang, kelabu saat mendung dan datangnya hujan, dan merah jingga kuning hijau biru nila dan ungu untuk warna pelangi, agar manusia tak terlalu larut dalam warna kelabu, dan sebagai isyarat kalau masih ada bahagia setelah kesedihan.”
“Oh Tuhanku, Engkau sungguh pencipta terbaik.”
***
Ibu selalu bercerita kepadaku sebelum aku tidur dan ceritanya selalu saja sama, tentang penciptaan warna-warna yang silih berganti menghiasi langit. Aku tak bosan. Bahkan aku selalu menikmati setiap kata yang keluar dari bibirnya. Bibir yang selalu mendarat di keningku saat aku mulai terlelap. Bibir yang tak akan pernah berhenti membuat seorang anak merasa senang bahkan ketika ia dirundung kesedihan.
Mataku perlahan terpejam dalam pelukannya. Dan di tengah itu aku kerap mendengar sedikit isak tangis keluar dari bibirnya. Bahkan sesekali aku merasakan air matanya jatuh perlahan di pipiku. Seperti rintik hujan, dingin dan membuat hati merasa begitu kesepian.
“Ibu menangis?”
“Tidak, sayang. Ibu hanya merasa ada sesuatu masuk ke mata Ibu hingga terasa perih.”
“Mau aku tiupkan, Bu?”
“Tidak usah, ini sudah hilang sayang.”
Aku tahu ibu sedang menangisi Ayah. Lelaki yang jarang sekali ada untuk kami berdua, yang lebih senang berada di luar ketimbang di rumah bersama istri dan anaknya.
***
“Mau ke mana kamu?”
“Sudah urusi saja anakmu itu!”
Pyaaaaaaaarrrrr!!!
Terdengar gelas dilempar hingga pecah dengan begitu keras. Aku sedang tidur di kamar waktu itu. Tapi teriakan-teriakan itu terdengar begitu lantang di telingaku seperti memaksa untuk membuka mataku.
“Apakah kamu mau menginap lagi di rumah selingkuhanmu?”
“Bukan urusanmu!!!”
Dadaku sesak. Entah kenapa. Tapi aku merasa seperti ada yang melempar sesuatu yang tajam ke hatiku hingga seketika nafasku tersendat. Aku tahu Ibu sedang tidak baik-baik saja dengan Ayah. Tapi aku tak berani keluar. Di sana amarah sedang beradu, dan pembicaraan mereka tak akan mudah dimengerti untuk anak kecil sepertiku.
Dhaaaaaarrr!!
Pintu tertutup dengan sangat kerasnya seperti didorong dengan begitu kencangnya.
Tak beberapa lama pintu kamarku terbuka dan aku pura-pura tertidur. Ibu berbaring di sampingku dan mendaratkan bibirnya di keningku. Terdengar sangat jelas isak tangisnya di telingaku, tapi aku tak berani membuka mata. Aku tak mau ibu bertambah sedih karena aku melihatnya menjatuhkan butir-butir air mata dari sepasang matanya yang berwarna jingga.
Malam itu kami tidur berdua. Ibu memelukku. Namun aku tak bisa memejam. Begitu banyak hal yang memaksa mataku untuk terbuka. Masih terngiang jelas teriakan-teriakan dan gelas yang pecah yang menggema di telinga dan mengendap di kepalaku. Aku tak paham dengan jelas, tapi aku rasa Ayah sudah jahat dengan Ibu. Aku benci.
***
“Hei, kenapa melamun?”
“Ah tidak.”
Kutatap senja yang begitu ranum di pelukan samudera. Angin berdesir lirih menyelimuti tubuhku. Nafasku panjang, “Heemmmmmmm...”
“Sayang, jika menikah nanti aku ingin kita bersaksi di sore hari, di bawah payung jingga dengan suara camar yang riang kembali ke sarangnya. Apakah kau bersedia?”
Hening.
“Sayang?”
Sunyi.
“Apakah kau bersedia?”
“Aku harus pulang.”
“Tapi kenapa? Kita belum selesai bicara.”
Kakiku melangkah pergi. Angin bertiup membawa daun yang jatuh terbang tinggi. Perlahan senja tenggelam. Jingga berganti hitam.
Aku harus pulang. Aku sudah tiga hari pergi. Istri dan anakku pasti menunggu. Aku tak mau anakku merasakan hal sama denganku: menunggu Ayahnya pulang, bukan hilang.

Mei, 2016