Gerimis perlahan mulai menyirami
tanah yang manusia pijak diwaktu sore menjelang senja merekah. Berbagai macam
rasa hadir dengan seketika. Seusai tak ada lagi dering telephone yang membatu
dengan kesunyian. Seorang manusia duduk disebuah jendela menatap ke langit luas
berharap pandangannya tembus ke arah orang yang dinantikannya sejak lama.
Melodi-melodi alam tercipta dari gesekan antara air hujan dan atap rumah
menghadirkan suasana tersendiri, tapi masih saja tentang sepi dan sunyi. Tak
ada kata yang keluar dari mulut manusia tersebut kecuali hembusan nafas yang
panjang hanya untuk sekedar untuk menenangkan pikirannya. Tetapi tampaknya cara
itu kurang efektif untuk mengusir sepi. Bukannya sepi mereda malahan semakin
bergumul ke dalam otak dan hatinya.
Awan dilangit tak kelihatan begitu
mendung, tetapi hujan masih saja turun dan membasahi bumi. Tampaknya hujan
memang sudah menjadi sahabat sepi sejak lama. Begitu cocok mereka dengan hadir
secara bersamaan.
Tetapi kapankah manusia sepi
tersebut akan menemukan seseorang yang cocok untuk menemaninya menikmati sepi
dan sunyi?
Adakah orang seperti itu?
***
Denting jam dinding menunjukkan
pukul setengah dua dini hari ketika sepasang mata terlihat terbuka dan sedikit
bercahaya diantara pekatnya kamar. Hanya lampu tidur yang menyala tak terlalu
terang dan tak mampu menerangi seluruh kamar yang dilantainya berserakan kertas
penuh coretan-coretan bertema sepi.
Langkah kaki terdengar lunglai
menuju jendela kamar yang terbuka sepanjang hari. Tirainya bergoyang-goyang
terhempas angin malam yang dingin. Langit masih dipenuhi tinta warna hitam dan
hanya sedikit titik-titik putih agak berkilau terlihat dari kejauhan. Sepasang
mata itu berkaca-kaca. Kemudian turunlah air suci dari tempatnya bersemayam.
Tak terlalu deras tapi cukup menggambarkan kesunyian didalam hatinya. Tampaknya
hanya lewat cara itu dia mengisyaratkan kesunyiannya. Mulut yang berfungsi
untuk berbicara, berkeluh kesah tampak sudah tak mampu lagi mengeluarkan
kalimatnya. Baginya, tak semua harus diungkapkan dengan kata-kata. Ada kalanya
isyarat begitu didewakan untuk menyampaikan isi hati dan keluh kesahnya.
Dinginnya angin malam itu memenuhi
seisi kamar sunyi yang begitu berantakan. Dari sebuah meja disamping ranjang
tidurnya terlihat sebuah foto dua insan manusia yang tampak mesra bergandengan
tangan walaupun tak menampakkan wajahnya karena pose foto tersebut membelakangi
kamera yang saat itu memotretnya. Genggaman yang tampak erat. Yang sepertinya
tak mampu terpisahkan oleh apapun. Tetapi sekarang realita berbicara. Dua
manusia tersebut terpisahkan. Hanya sisa-sisa rasa genggaman tangan yang masih
sedikit terasa. Rasanya agak hangat. Sungguh hangat. Mugkin.
***
Gerimis sore kembali terulang dua
tahun setelahnya. Disebuah danau. Dibawah senja yang ingin merekah. Ditengah
kesunyian yang masih terasa sama seperti dulu. Tak ada yang berubah dalam
hatinya. Kosong. Hampa.
Dari kejauhan nampak roda yang
berputar tak terlalu cepat. Diatasnya terlihat seorang manusia yang sedikit
tersenyum kepada gerimis sore itu. Matanya bening. Tampaknya sering terbasuh
oleh air yang keluar dari mata tersebut.
Sorotnya mengingatkan kepada seseorang yang pernah ada dua tahun lalu.
Seseorang yang sudah memberinya sunyi yang berlebih sampai dia tak tahu kapan
dia bisa menghabiskannya. Tetapi setelah melihat sorot mata yang sama lagi,
perlahan sunyi itu terkuras. Sungguh aneh. Dua tahun dia mencoba menghabiskan
sunyi itu, tetapi tak bisa. Dan sekarang setelah melihat sorot mata yang sama
seperti dulu, dengan cepat sunyi itu dapat terkuras.
Dari langit perlahan gerimis mulai
reda. Tampaknya gerimis tak mau mengganggu pandangan matanya untuk terus
menatap sorot mata seseorang yang terlihat sama seperti dulu. Diantara senja
terpampang garis warna-warni yang melengkung indah. Jika dilihat lebih dekat
mungkin sorot mata itu mampu memantulkan apa yang tengah terjadi diatas langit.
Senja yang menguning. Pelangi yang melengkung indah.
***
Malam masih tampak begitu bersahabat
ketika sorot lampu dari sebuah toko ikan memenuhi seisi ruangan. Ikan-ikan
kecil berenang seakan tak tahu arti kata lelah. Warna yang beragam membangun
suasana mirip taman bermain anak-anak yang suka sekali dengan aneka warna.
Terlihat beberapa mata manusia sibuk memilih ikan mana yang akan mereka bawa
pulang kerumah. Tak terkecuali si manusia dengan sejuta sepi dihatinya.
Dari sebuah aquarium ikan matanya
memandang kesana-kemari. Perlahan muncul bayangan seorang manusia dengan sorot
mata yang sama seperti dulu. Pandangannya beralih dari sebuah ikan ke sepasang
mata manusia yang baru tiba. Senyum tampak terlukis dari bibirnya. Setelah
sekian lama senyum tak menghiasi bibirnya, kini bibir tersebut mulai berani
tersenyum lagi.
Langkah kakinya berjalan mengarah
pada seseorang yang baru tiba. Dengan perasaan gugup. Dengan detak jantung yang
memburu seperti senapan yang dikokang di medan perang. Dia berusaha terlihat
tenang tetapi gugup sudah terlanjur menguasai tubuhnya. Tubuhnya kaku. Bahkan
untuk berjalan ke arahnya, rasanya seperti berjalan 10 Km.
Kini dia sudah sampai dibelakang
manusia tersebut.
“Hai, aku Nugi.”
“Aku Nina.”
Kedunya tersenyum.
Bukan hanya sorot mata yang sama seperti
dulu, bahkan senyumnya sama. Bibir yang tipis tersenyum manis ditengah-tengah
ikan hias yang tak kenal lelah berenang. Tampaknya ikan itu ikut merasa gembira
dengan perkenalan mereka.
Hati yang dulu sepi, perlahan mulai
kembali terisi.
***
Tak ada rumah yang akan gelap
selamanya. Akan ada seseorang yang memasang lampu dan menghuni rumah dan
membuatnya ramai.
(Sore, Desember 2014)