Selasa, 29 April 2014

Cerpen "TUNGGU!" by Djenar Maesa Ayu



TUNGGU!



Waktu menunjuk pukul tujuh. Di sudut kafe ketiak saya berpeluh. Namun tak bisa mengeluh. Kecuali pada ponsel yang suaranya tak juga melenguh.
Dua belas jam yang lalu ada yang mengaku akan datang. Yang saya harapkan selalu di kafe itu senyumnya akan mengembang. Ketika melihat saya. Karena berdekatan dengan pujaan hati, katanya. Biasanya kami akan menghabiskan waktu dengan percakapan. Saling bertatapan. Saling bertukar harapan. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan. Di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan.
Namun, sebenarnya, hati saya selalu gaduh. Ketika di atas tubuhnya saya mengaduh. Karena setelahnya saya akan mengeluh. Bertanya, ke manakah hubungan ini akan berlabuh?
”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.”
”Hah?!”
Saya bukan orang yang mengerti bahasa isyarat. Apalagi kalau itu mengandung makna filosofis berat. Saya cuma tahu karena saya merasa. Bukan karena teori-teori yang tercantum dalam buku-buku yang pemikir sepertinya biasa baca. Saya hanya mau mencinta. Apakah lewat buku-buku bermartabat itu baru cinta bisa dicerna?
Ia selalu menyebutkan nama-nama terkenal yang saya tidak kenal. Ia selalu menyebutkan nama-nama yang bahkan di dalam kepala saya pun tak akan lama mengental. Badiout? Platoy? Badut yang letoi, begitu yang selalu ada di dalam kepala saya tercantol. Bukan karena pemikiran mereka tentang kebenaran yang tidak saya pahami. Tapi lebih karena setiap kali melihat badut yang letoi, saya merasa tak sampai hati.
Saya tidak pernah habis pikir mengapa ada karakter semacam badut di sirkus. Rata-rata mereka sebenarnya berbadan kurus. Bermuka tirus. Hanya kosmetik di mukanya memberangus. Dan buntalan di perutnya yang besar membungkus. Sehingga ia kelihatan lucu dan mungkin bagus. Bagi mata orang-orang tua yang membawa anak-anaknya hanya untuk sejenak melupakan haus. Haus hiburan. Haus kebersamaan. Haus tertawa bersama dalam suasana kekeluargaan. Padahal mata anak-anak itu mungkin bisa melihat apa yang ada di balik mata badut-badut. Mata yang bersungut. Dan mulut yang merengut di balik riasan begitu lebar dan memerah di mulut.
Salah satu mata anak-anak itu, adalah mata saya. Mungkin di antara banyaknya anak-anak itu, hanya saya satu-satunya. Melihat badut yang itu-itu saja di setiap pertunjukan sirkus apa pun dan di mana pun juga. Badut yang letoi. Letoi yang adalah seperti tak bersendi dalam bahasa asli Jakarta. Dan selalu ada garis merah di bawah mata mereka seperti air mata. Jadi saya tidak pernah mengerti mengapa mereka menertawakannya. Bahkan sampai sekarang, ketika usia saya menginjak dewasa.
Menertawakan kesedihan. Menertawakan kebersamaan. Menertawakan keadaan merekakah yang terpaksa datang bersama sanak keluarga hanya atas nama kekeluargaan? Menertawakan diri mereka sendiri. Dan untuk itu ada harga yang harus mereka beli?
”Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahaha.”
Akhirnya saya tertawa lepas sebelum ia menjawab reaksi saya. Sangat lepas melebihi tawa saya melihat badut-badut letoi di sirkus. Berikut binatang-binatang yang tidak seharusnya diberangus. Sangat sangat lepas melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus.
”Kenapa kamu ketawa, Sayang? Saya kan udah bilang, kalau kamu mau jadikan anak kita, sekarang saatnya. Saya tidak akan bisa kasih anak ke kamu lagi mengingat umur saya sudah lima puluh tahun sekarang. Tapi, saya tidak bisa jamin apakah saya bisa tanggung jawab secara material.”
Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami duduk. Ia pun melebarkan jangkauan tangannya di mana tangan saya sedang diam merunduk. Mencoba meredam tawa saya yang sudah terdengar seperti orang mabuk. Tenang gerakannya sangat saya tahu sebenarnya memendam rasa amuk. Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau nyamuk.
”Kamu…”
”Hah?!”
Saya memotong kalimatnya. Persis seperti apa yang dilakukan badut-badut ketika berada di atas arena. Berteriak ketika ada yang mengolok-oloknya. Terjatuh. Mengaduh. Berlari. Tanpa berani memaki. Menghilang ke balik panggung. Disertai dengan sorak-sorai dan tawa menggunung.
Sorak-sorai itu yang mengingatkan saya atas kutipan-kutipan yang disebutkan ia dari nama-nama pemikir. Membuat saya mencibir. Karena ada letupan kembang api di kepalanya. Dan warna-warni serpihan kembang api itu jatuh ke bahunya. Ia tidak pernah mengetahuinya. Maka, ia tak merasakannya. Ketika serpihan kembang api itu melumatnya. Bahkan ketika ia berkata,
”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.”
Tapi di manakah sekarang ia?
”Hah?!”
Terkejut saya ketika bahu ditepuk seseorang.
”Boleh saya ambil bangku yang tak terpakai?”
”Hah?!”
Saya tidak bisa menentukan. Saya sudah menunggu dua jam dengan perut kram akibat pengguguran. Namun ia tak juga datang. Tapi apakah saya harus menyerahkan bangku kosong di sebelah saya ke seseorang? Seseorang yang membutuhkan bangku tambahan di mejanya karena ia bersama banyak teman tak terkecuali perempuan?
”Boleh saya pakai bangkunya, Mbak?”
Saya menatapnya.
”Maaf, ada yang saya tunggu.”
”Waktu?”
Waktu menunjuk pukul tujuh.

Rabu, 23 April 2014

Sajak "Ksatria Rindu"



 

Ksatria rindu
Karya  : Afifudin Hanif
Wajah malam yang pekat
Diantara titik cahaya berkilauan
Asa yang terus menggebu
Tapi dunia kita berbeda

Tersurut rasa rindu
Yang mulai meruncing
Meminta tuk di tancapkan
Dan tergores belaian kasih

Tolong tengadahkan tanganmu
Akan ku berikan sekeping hati
Dan sejuta kasih
Yang berharap kan abadi

Aku ksatria di medan perang
Bukan hanya pedang yang aku butuhkan
Tapi kasihmu
Dan doa tulusmu...

Jumat, 04 April 2014

Catatan "Aku Tak Peduli Apa Kata Mereka"

Aku Tak Peduli Apa Kata Mereka.


Banyak sekali yang menyindir kisah kita, entah karena mereka iri ataupun apa. Tapi yang jelas aku tak peduli. Aku yang tahu dan aku yang menjalani hubungan ini bukan mereka.
"Apa sih yang kamu harapkan dari dia? Dia kan jauh dari kamu."
"Aku sayang dia."
"Percuma sayang kalau gak pernah ketemu, gak bisa meluk dia, gak bisa romantis."
"LDR juga bisa romantis, malahan romantis banget."
Aku percaya Tuhan gak tidur dan Tuhan pasti mendengar setiap doa yang kita panjatkan kepada-Nya. Hanya mungkin sekarang Tuhan belum ngasih izin buat kita ketemu.
Jangan pernah salahkan keadaan yang membuat kita terbentang jarak, karena inilah yang menjadikan kita lebih saling mengerti. Bahkan bisa menambah rasa sayang kita.
Kita sekarang boleh jauh, tapi kita harus percaya kepada Tuhan kalau ini hanya sementara dan Tuhan telah menyiapkan pertemuan yang begitu indah suatu saat nanti. Pertemuan yang membuat kita takkan pernah terpisah lagi sampai hanya maut yang mampu memisahkan.
Percaya Tuhan itu adil. Tuhan takkan membiarkan umatnya bersedih selama kita terus berdoa kepada-Nya dan terus berusaha.
Acuhkan saja mereka yang tak suka dengan hubungan kita. Karena kita yakin, cinta ini indah dan kita akan tertawa bahagia di akhir ceritanya.

@afifhanif_
Afifudin Hanif

Puisi "Ketika Senja"

Ketika Senja

Ketika senja menyapa
Tanggalkan lelah di pundakmu
Lukiskan impianmu di atas kanvas jingga
Terbiaskan sinaran sore

Wanita yang menari di atas semesta
Bermahkotakan cinta dan rindu
Bermandikan keringat malaikat
Yang tampak anggun menawan

Wahai kau para tentara
Para pejuang waktu
Berjalanlah dengan puteri impian
Dan saling bergandeng tangan

Jelajahi mulusnya setapak pelangi
Yang tampak seluruh penghuni semesta
Yang takkan pernah lelah berperang
Untuk hari esok nan bahagia..

@afifhanif_
Afifudin Hanif

Puisi "KAMU"

"KAMU"

Sosok penyemangatku 'moodboaster'
Sosok yang membuat hariku terlukis canda tawa.
Sosok yang tak sempurna tapi selalu melengkapi kekuranganku.
Sosok dari semua mimpi-mimpi indahku.
Sosok yang ingin ku lihat saat ku menutup mata.
Sosok yang ingin ku sanding di pelaminan.
Sosok dari semua kata rinduku.
Dan semua itu hanya tertuju pada satu titik, yaitu KAMU.

@afifhanif_
Afifudin Hanif

Puisi "KITA"

"KITA"

Kita adalah kasih yang terpisahkan jarak.
Jarak yang membuat kita semakin dewasa.
Jarak yang mengajarkan kita arti sebuah kesabaran.
Jarak yang kelak akan terkelupas oleh rindu.
Kita adalah mimpi, mimpi indah tentang masa depan.
Masa dimana kita dipertemukan Tuhan.
Masa dimana penantian panjang terbukti tak sia-sia.
Masa dimana kita saling berucap janji setia sehidup semati.
Kita adalah rindu yang menggebu dan telah lama terpendam.
Terpendam oleh jarak.
Terpendam oleh ruang.
Terpendam oleh waktu.
Rindu adalah sebuah anugerah.
Kita hanya bisa berucap tanpa mampu bertatap.
Kita hanya bisa berdo'a dalam diam.
Dan semua itu selalu mengarah pada satu titik, yaitu KAMU...

Afifudin Hanif
@afifhanif_