Selasa, 23 Desember 2014

Pesan Dari Sepi



Gerimis perlahan mulai menyirami tanah yang manusia pijak diwaktu sore menjelang senja merekah. Berbagai macam rasa hadir dengan seketika. Seusai tak ada lagi dering telephone yang membatu dengan kesunyian. Seorang manusia duduk disebuah jendela menatap ke langit luas berharap pandangannya tembus ke arah orang yang dinantikannya sejak lama. Melodi-melodi alam tercipta dari gesekan antara air hujan dan atap rumah menghadirkan suasana tersendiri, tapi masih saja tentang sepi dan sunyi. Tak ada kata yang keluar dari mulut manusia tersebut kecuali hembusan nafas yang panjang hanya untuk sekedar untuk menenangkan pikirannya. Tetapi tampaknya cara itu kurang efektif untuk mengusir sepi. Bukannya sepi mereda malahan semakin bergumul ke dalam otak dan hatinya.
Awan dilangit tak kelihatan begitu mendung, tetapi hujan masih saja turun dan membasahi bumi. Tampaknya hujan memang sudah menjadi sahabat sepi sejak lama. Begitu cocok mereka dengan hadir secara bersamaan.
Tetapi kapankah manusia sepi tersebut akan menemukan seseorang yang cocok untuk menemaninya menikmati sepi dan sunyi?
Adakah orang seperti itu?
***
Denting jam dinding menunjukkan pukul setengah dua dini hari ketika sepasang mata terlihat terbuka dan sedikit bercahaya diantara pekatnya kamar. Hanya lampu tidur yang menyala tak terlalu terang dan tak mampu menerangi seluruh kamar yang dilantainya berserakan kertas penuh coretan-coretan bertema sepi.
Langkah kaki terdengar lunglai menuju jendela kamar yang terbuka sepanjang hari. Tirainya bergoyang-goyang terhempas angin malam yang dingin. Langit masih dipenuhi tinta warna hitam dan hanya sedikit titik-titik putih agak berkilau terlihat dari kejauhan. Sepasang mata itu berkaca-kaca. Kemudian turunlah air suci dari tempatnya bersemayam. Tak terlalu deras tapi cukup menggambarkan kesunyian didalam hatinya. Tampaknya hanya lewat cara itu dia mengisyaratkan kesunyiannya. Mulut yang berfungsi untuk berbicara, berkeluh kesah tampak sudah tak mampu lagi mengeluarkan kalimatnya. Baginya, tak semua harus diungkapkan dengan kata-kata. Ada kalanya isyarat begitu didewakan untuk menyampaikan isi hati dan keluh kesahnya.
Dinginnya angin malam itu memenuhi seisi kamar sunyi yang begitu berantakan. Dari sebuah meja disamping ranjang tidurnya terlihat sebuah foto dua insan manusia yang tampak mesra bergandengan tangan walaupun tak menampakkan wajahnya karena pose foto tersebut membelakangi kamera yang saat itu memotretnya. Genggaman yang tampak erat. Yang sepertinya tak mampu terpisahkan oleh apapun. Tetapi sekarang realita berbicara. Dua manusia tersebut terpisahkan. Hanya sisa-sisa rasa genggaman tangan yang masih sedikit terasa. Rasanya agak hangat. Sungguh hangat. Mugkin.
***
Gerimis sore kembali terulang dua tahun setelahnya. Disebuah danau. Dibawah senja yang ingin merekah. Ditengah kesunyian yang masih terasa sama seperti dulu. Tak ada yang berubah dalam hatinya. Kosong. Hampa.
Dari kejauhan nampak roda yang berputar tak terlalu cepat. Diatasnya terlihat seorang manusia yang sedikit tersenyum kepada gerimis sore itu. Matanya bening. Tampaknya sering terbasuh oleh air yang keluar dari mata tersebut.  Sorotnya mengingatkan kepada seseorang yang pernah ada dua tahun lalu. Seseorang yang sudah memberinya sunyi yang berlebih sampai dia tak tahu kapan dia bisa menghabiskannya. Tetapi setelah melihat sorot mata yang sama lagi, perlahan sunyi itu terkuras. Sungguh aneh. Dua tahun dia mencoba menghabiskan sunyi itu, tetapi tak bisa. Dan sekarang setelah melihat sorot mata yang sama seperti dulu, dengan cepat sunyi itu dapat terkuras.
Dari langit perlahan gerimis mulai reda. Tampaknya gerimis tak mau mengganggu pandangan matanya untuk terus menatap sorot mata seseorang yang terlihat sama seperti dulu. Diantara senja terpampang garis warna-warni yang melengkung indah. Jika dilihat lebih dekat mungkin sorot mata itu mampu memantulkan apa yang tengah terjadi diatas langit. Senja yang menguning. Pelangi yang melengkung indah.
***
Malam masih tampak begitu bersahabat ketika sorot lampu dari sebuah toko ikan memenuhi seisi ruangan. Ikan-ikan kecil berenang seakan tak tahu arti kata lelah. Warna yang beragam membangun suasana mirip taman bermain anak-anak yang suka sekali dengan aneka warna. Terlihat beberapa mata manusia sibuk memilih ikan mana yang akan mereka bawa pulang kerumah. Tak terkecuali si manusia dengan sejuta sepi dihatinya.
Dari sebuah aquarium ikan matanya memandang kesana-kemari. Perlahan muncul bayangan seorang manusia dengan sorot mata yang sama seperti dulu. Pandangannya beralih dari sebuah ikan ke sepasang mata manusia yang baru tiba. Senyum tampak terlukis dari bibirnya. Setelah sekian lama senyum tak menghiasi bibirnya, kini bibir tersebut mulai berani tersenyum lagi.
Langkah kakinya berjalan mengarah pada seseorang yang baru tiba. Dengan perasaan gugup. Dengan detak jantung yang memburu seperti senapan yang dikokang di medan perang. Dia berusaha terlihat tenang tetapi gugup sudah terlanjur menguasai tubuhnya. Tubuhnya kaku. Bahkan untuk berjalan ke arahnya, rasanya seperti berjalan 10 Km.

Kini dia sudah sampai dibelakang manusia tersebut.
“Hai, aku Nugi.”
“Aku Nina.”
Kedunya tersenyum.
Bukan hanya sorot mata yang sama seperti dulu, bahkan senyumnya sama. Bibir yang tipis tersenyum manis ditengah-tengah ikan hias yang tak kenal lelah berenang. Tampaknya ikan itu ikut merasa gembira dengan perkenalan mereka.
Hati yang dulu sepi, perlahan mulai kembali terisi.
***
Tak ada rumah yang akan gelap selamanya. Akan ada seseorang yang memasang lampu dan menghuni rumah dan membuatnya ramai.
(Sore, Desember 2014)