Senin, 13 Oktober 2014

-



Berdua saja
Jalanan masih lenggang di sepertiga malam. Lampu-lampu jalan menjelma menjadi sosok pahlawan dalam kegelapan. Emperan toko dengan gelandangan yang sedang merajut mimpi tampak tak asing di pandangan mata. Bahkan mereka terlihat seperti ikan yang sedang dijajakan penjual dipasar. Sebagian dari mereka ada yang tidur tanpa mengenakan pakaian dan hanya beralaskan kardus mie instan yang masih terasa harumnya.
Sorot lampu kendaraan yang melewati jalan menjadi pemandangan tersendiri bagi mereka yang masih terjaga. Kuningnya yang ranum lebih terasa enak dipandang ketimbang lampu remang-remang diskotik di ujung jalan. Mungkin karena lebih terasa sunyi dan bebas dari bau alkohol atau asap rokok yang berlalu-lalang melewati hidung.
Sesosok perempuan tinggi dengan make up agak tebal berdiri diujung jalan sendirian. Wajahnya tampak murung dibawah lampu jalan yang tak seterang lampu-lampu rumah pejabat. Disandarkan bahunya ditiang lampu jalan yang berarti menandakan dia tengah letih. Mungkin dia lebih berharap sebuah bahu untuk bersandar, bukan tiang lampu jalan yang agak kusam penuh brosur iklan sedot WC.
“Sudah selarut ini kenapa kau belum pulang ke rumah?”
***
Malam itu Jono duduk berdua dengan seorang perempuan disebuah bangku taman yang sedikit mengembun. Sorot lampu taman yang bundar seperti telur menerangi sedikit kegelapan. Walaupun itu tidak berlaku untuk Jono. Semuanya sama.
“Cobalah kau lihat! Kenapa bintang-bintang di atas langit tidak mau turun?”
“Bukankah kau buta?”
Iya, Jono memang terlahir dengan tidak sempurna. Pandangan matanya selalu gelap. Matanya tertutup kabut hitam yang dikirimkan Tuhan. Namun dari sorot matanya, terlihat dia seorang yang tegar, seorang yang tak takut menghadapi kerasnya kehidupan.
“Mataku memang gelap, tetapi bukan berarti aku tak bisa melihat.”
“Emmmm..........”
Entah apa yang dipikirkan perempuan itu ketika mendengar jawaban Jono. Dia hanya terdiam tanpa kata. Apa ada sesuatu yang menyentuh hatinya sehingga dia tidak mau berkata? Atau mungkin dia bingung ingin menjawab apa. Tetapi yang jelas malam itu semakin sepi karena tak ada sepatah kata lagi yang keluar dari mulut mereka berdua. Hanya suara kendaraan yang berlalu-lalang melewati taman dengan derungan knalpot agak malas. Mungkin karena lelah sepulang kerja atau sepulang mencari hiburan disebuah diskotik untuk minum Whiskey.
Segerombolan kunang-kunang melintas diantara bunga taman yang ranum kemerahan. Kemudian secara perlahan mereka singgah di kelopak bunga teratai yang mekar di atas kolam. Cahayanya seperti lilin yang mengapung dan berpendar diantara keheningan taman. Ikan yang berada didalam kolam perlahan mulai ke atas dan melompat tepat diatas cahaya kekuningan. Cahaya yang sama persis dengan lampu jalan tempat Jono dan perempuan itu berkenalan.
Tempat yang selalu sama. Tempat yang sepi diujung jalan. Mobil yang hanya sekedar menepi lalu berbincang dengan segelintir perempuan kemudian pergi lagi. Iya, berbincang. Awal mereka berkenalan. Karena hanya dia yang mau diajak berbincang oleh Jono. Perempuan lain mungkin enggan melihat kekurangan seorang pemuda dengan mata yang tertutup kabut.
“Andaikan bintang itu mau turun, aku akan memetiknya untukmu.”
“Emmmm.........”
“Kau tidak percaya? Aku bisa saja memetiknya, tetapi aku butuh sayap bidadarimu untuk terbang.”
Bidadari? Kata yang tak pernah terdengar ditelinga perempuan itu setelah bertahun-tahun dia bercerai dengan mantan suaminya. Ada perasaan kaget bercampur senang dihatinya, akhirnya ada juga seseorang yang menganggapnya sebagai bidadari. Walaupun ia merasa sudah tak pantas menyandang gelar itu lagi. Matanya sedikit berkaca seperti ada yang ingin turun dari kelopak mata indahnya. Mengalir, dan jatuh dengan anggun ke tanah.
Ditengah kesunyian keduanya terdiam. Mulut yang seharusnya lancar untuk berbincang, seketika terasa kram. Keheningan mengunci mulut mereka. Kesunyian membungkus mulut mereka tanpa ampun. Mungkin memang lebih baik begitu.
Perlahan sentuhan hangat terasa disekujur tubuh kala tangan mereka saling genggam. Getaran-getaran kecil hadir menggoda keheningan. Rasa sentuh menghangatkan bagaikan api unggun yang berkobar tak terlalu besar. Seperti rasa yang tumbuh diantara mereka perlahan mulai  membumbung. Keduanya meringkuk dibalik kedinginan malam. Pelukan hangat disebuah taman. Saat malam. Saat kunang-kunang terbang diatas kolam. Saat cinta mulai geram meminta dilampiaskan.
***
“Sudah selarut ini kenapa kau belum pulang ke rumah?”
Ada yang tak bisa terucap oleh kata ketika sedang bersama. Ada yang terlupa ketika semuanya terasa lebih indah berdua. Bahkan dalam keheningan, terasa lebih mudah ketika semuanya berkata dengan bahasa tubuh. Saling pandang. Saling genggam. Saling bertukar hangat.
Mungkin perlahan waktu akan datang dan membawa jawaban. Mengulurkan tangan dan menyodorkan berkas dari kata yang tak terucap.
 “Mungkinkah kita ada kesempatan ucapkan janji takkan berpisah selamanya?”
Perempuan itu kaget. Walaupun tak dipungkiri dia merasa nyaman didekatnya. Selalu ada pelukan kecil yang dapat menenangkan hatinya. Dari kerasnya hidup. Dari mahalnya sembako. Dari semrawutnya pemerintahan. Tapi dia tak pernah terpikir akan mendengar kata yang baru saja terucap.
Perempuan itu mendekap tubuh disampingnya. Erat. Tanpa sekat. Bahkan dinginnya malam pun tak bisa mengusik mereka berdua. Perlahan ada yang terasa basah. Ada yang turun dari sarangnya. Oh air mata. Butiran-butiran itu turun dari kelopak mata ditengah malam. Kunang-kunang dikolam terbang menjauh seakan tak ingin mengganggu ketentraman. Suasana menjadi senyap. Tanpa kata. Hanya air mata yang berbicara.
Dari air mata yang jatuh perlahan terdengar suara. Lirih.
“Aku seorang pelacur.”

(2014)