Berdua saja
Jalanan masih lenggang di
sepertiga malam. Lampu-lampu jalan menjelma menjadi sosok pahlawan dalam
kegelapan. Emperan toko dengan gelandangan yang sedang merajut mimpi tampak tak
asing di pandangan mata. Bahkan mereka terlihat seperti ikan yang sedang
dijajakan penjual dipasar. Sebagian dari mereka ada yang tidur tanpa mengenakan
pakaian dan hanya beralaskan kardus mie instan yang masih terasa harumnya.
Sorot lampu kendaraan yang
melewati jalan menjadi pemandangan tersendiri bagi mereka yang masih terjaga.
Kuningnya yang ranum lebih terasa enak dipandang ketimbang lampu remang-remang
diskotik di ujung jalan. Mungkin karena lebih terasa sunyi dan bebas dari bau
alkohol atau asap rokok yang berlalu-lalang melewati hidung.
Sesosok perempuan tinggi
dengan make up agak tebal berdiri diujung jalan sendirian. Wajahnya tampak
murung dibawah lampu jalan yang tak seterang lampu-lampu rumah pejabat.
Disandarkan bahunya ditiang lampu jalan yang berarti menandakan dia tengah
letih. Mungkin dia lebih berharap sebuah bahu untuk bersandar, bukan tiang
lampu jalan yang agak kusam penuh brosur iklan sedot WC.
“Sudah selarut ini kenapa kau
belum pulang ke rumah?”
***
Malam itu Jono duduk berdua
dengan seorang perempuan disebuah bangku taman yang sedikit mengembun. Sorot
lampu taman yang bundar seperti telur menerangi sedikit kegelapan. Walaupun itu
tidak berlaku untuk Jono. Semuanya sama.
“Cobalah kau lihat! Kenapa
bintang-bintang di atas langit tidak mau turun?”
“Bukankah kau buta?”
Iya, Jono memang terlahir
dengan tidak sempurna. Pandangan matanya selalu gelap. Matanya tertutup kabut
hitam yang dikirimkan Tuhan. Namun dari sorot matanya, terlihat dia seorang
yang tegar, seorang yang tak takut menghadapi kerasnya kehidupan.
“Mataku memang gelap, tetapi
bukan berarti aku tak bisa melihat.”
“Emmmm..........”
Entah apa yang dipikirkan
perempuan itu ketika mendengar jawaban Jono. Dia hanya terdiam tanpa kata. Apa
ada sesuatu yang menyentuh hatinya sehingga dia tidak mau berkata? Atau mungkin
dia bingung ingin menjawab apa. Tetapi yang jelas malam itu semakin sepi karena
tak ada sepatah kata lagi yang keluar dari mulut mereka berdua. Hanya suara
kendaraan yang berlalu-lalang melewati taman dengan derungan knalpot agak
malas. Mungkin karena lelah sepulang kerja atau sepulang mencari hiburan
disebuah diskotik untuk minum Whiskey.
Segerombolan kunang-kunang
melintas diantara bunga taman yang ranum kemerahan. Kemudian secara perlahan
mereka singgah di kelopak bunga teratai yang mekar di atas kolam. Cahayanya
seperti lilin yang mengapung dan berpendar diantara keheningan taman. Ikan yang
berada didalam kolam perlahan mulai ke atas dan melompat tepat diatas cahaya
kekuningan. Cahaya yang sama persis dengan lampu jalan tempat Jono dan
perempuan itu berkenalan.
Tempat yang selalu sama. Tempat
yang sepi diujung jalan. Mobil yang hanya sekedar menepi lalu berbincang dengan
segelintir perempuan kemudian pergi lagi. Iya, berbincang. Awal mereka berkenalan.
Karena hanya dia yang mau diajak berbincang oleh Jono. Perempuan lain mungkin
enggan melihat kekurangan seorang pemuda dengan mata yang tertutup kabut.
“Andaikan bintang itu mau
turun, aku akan memetiknya untukmu.”
“Emmmm.........”
“Kau tidak percaya? Aku bisa
saja memetiknya, tetapi aku butuh sayap bidadarimu untuk terbang.”
Bidadari? Kata yang tak pernah
terdengar ditelinga perempuan itu setelah bertahun-tahun dia bercerai dengan
mantan suaminya. Ada perasaan kaget bercampur senang dihatinya, akhirnya ada
juga seseorang yang menganggapnya sebagai bidadari. Walaupun ia merasa sudah
tak pantas menyandang gelar itu lagi. Matanya sedikit berkaca seperti ada yang
ingin turun dari kelopak mata indahnya. Mengalir, dan jatuh dengan anggun ke
tanah.
Ditengah kesunyian keduanya
terdiam. Mulut yang seharusnya lancar untuk berbincang, seketika terasa kram.
Keheningan mengunci mulut mereka. Kesunyian membungkus mulut mereka tanpa
ampun. Mungkin memang lebih baik begitu.
Perlahan sentuhan hangat
terasa disekujur tubuh kala tangan mereka saling genggam. Getaran-getaran kecil
hadir menggoda keheningan. Rasa sentuh menghangatkan bagaikan api unggun yang
berkobar tak terlalu besar. Seperti rasa yang tumbuh diantara mereka perlahan
mulai membumbung. Keduanya meringkuk
dibalik kedinginan malam. Pelukan hangat disebuah taman. Saat malam. Saat
kunang-kunang terbang diatas kolam. Saat cinta mulai geram meminta
dilampiaskan.
***
“Sudah selarut ini kenapa kau
belum pulang ke rumah?”
Ada yang tak bisa terucap
oleh kata ketika sedang bersama. Ada yang terlupa ketika semuanya terasa lebih
indah berdua. Bahkan dalam keheningan, terasa lebih mudah ketika semuanya
berkata dengan bahasa tubuh. Saling pandang. Saling genggam. Saling bertukar
hangat.
Mungkin perlahan waktu akan
datang dan membawa jawaban. Mengulurkan tangan dan menyodorkan berkas dari kata
yang tak terucap.
“Mungkinkah kita ada kesempatan ucapkan janji
takkan berpisah selamanya?”
Perempuan itu kaget. Walaupun
tak dipungkiri dia merasa nyaman didekatnya. Selalu ada pelukan kecil yang
dapat menenangkan hatinya. Dari kerasnya hidup. Dari mahalnya sembako. Dari
semrawutnya pemerintahan. Tapi dia tak pernah terpikir akan mendengar kata yang
baru saja terucap.
Perempuan itu mendekap tubuh
disampingnya. Erat. Tanpa sekat. Bahkan dinginnya malam pun tak bisa mengusik
mereka berdua. Perlahan ada yang terasa basah. Ada yang turun dari sarangnya.
Oh air mata. Butiran-butiran itu turun dari kelopak mata ditengah malam.
Kunang-kunang dikolam terbang menjauh seakan tak ingin mengganggu ketentraman.
Suasana menjadi senyap. Tanpa kata. Hanya air mata yang berbicara.
Dari air mata yang jatuh
perlahan terdengar suara. Lirih.
“Aku seorang pelacur.”
(2014)